Gema takbir begitu menyentuh rasaku terdalam. Allah maha besar. Allah maha besar. Allah maha besar. Pertanyaan menggema di hatiku. Siapa diriku?
Buku Meditasi dan Yoga Terbaik
Wujud fisik sebagai manusia. Makan perlu, hewan juga. Minum juga perlu, hewan sama. Tidur butuh sebagai waktu istirahat. Hewan juga butuh. Berkembang biak hewan dan manusia sama-sama butuh. Lantas bagian mana yang membedakan?
Jika kita hanya mengurusi diri, kelompok atau pun golongan sendiri, bukankah tidak beda dengan hewan yang selalu berpihak mengurusi kelompoknya sendiri. Mereka ciptaan Tuhan, kita juga.
Mereka tidak bisa bertakbir, sepanjang bahasa kita. Tetapi besar kemungkinan mereka para hewan juga bertakbir. Buktinya? Mereka hanya makan dan minum sekedar memenuhi kebutuhan untuk bertahan hidup. Mereka tidak melakukan perbuatan yang membuat sesamanya susah. Mungkin saja ada yang membantah, mereka berebutan makanan. Benar berebutan makanan, tetapi mereka tidak pernah menyimpan barang sehingga orang lain tidak kebagian. Kita manusia sering menimbun untuk mencari untung.
Salah satu yang aneh dari negeri kita adalah: saat ini kita impor garam dari Singapura. Hal ini sangat parah!!!! Dulu kita bisa produksi garam. Negara kecil yang panjang pantainya saja jauh lebih kecil dari negeri kepulauan nusantara. Ini tidak terlepas dari permainan kelicikan manusia yang masih berbasis keserakahan manusia.
Kembali pada gema takbir di hari raya kemenangan ini yang dilantunkan setiap akhir puasa. Sudahkah kita menyadari bahwa sesungguhnya kita belum mengagungkan benar-benar memuji keagungan Nya? Jika sungguh-sungguh kita mengakui ke-maha besaran Nya, kita menjadi pelayan bagi nya.
Apa yang kita lakukan selama ini? Sudahkah kita menjadi pelayan Nya? Kita sering mengagungkan kekuasaan Nya. Yang paling parah kita tega melarang umat yang memiliki keyakinan yang beda untuk tidak melakukan ibadahnya. Kita masih senang berkotak ria dalam menyembah Dia yang kita agungkan. Kita belum mencintai ciptaan Nya. Kita begitu arogan berkata, aku lebih baik darimu. Kamu kafir…. Dimana letak keagungan diri kita? Sebaliknya adalah kita begitu merendahkan derajat keilahian yang selama ini bersemayam di hati kita. Jika demikian kondisinya, siapa yang khufur?
Siapa yang hatinya tertutup dari pancaran cahaya ilahiah?
Siapa yang tega menutup atau memutuskan tali silaturahim dengan sang sumber kehidupan?
Ahhh… ternyata kita belum benar-benar mengatasi nafsu setan yang menguasai pikiran…
Sesungguhnya dengan menggemakan takbir berulang kali membuat hati tergelitik untuk mengingat bahwa kita pelayan, abdi Allah. Abdullah. Selama ini hanya lips service saja kita bertakbir. Kerasnya suara mikropon hanya membuat telinga tuli dan hati tetap buta. Tidak juga bisa melihat wajah Allah di barat dan timur. Tidak juga bisa: iqraa… pada ayat allah yang bertebaran di muka bumi. Ayat Allah berarti kebenaran yang berlandaskan pada kehidupan yang memuliakan ciptaan Nya yang katanya akbar. Sebaliknya kita yang merasa diri paling benar dan berkuasa. Kita telah memeperkosa tuhan dengan cara melecehkan dan menghina sesama ciptaan Nya.
Kita tega menyakiti bahkan menganiaya ciptaan nya yang selama ini mulut sampai berbusa berkata: Allah hu akbar. Tapi tetap saja berpikir, berucap, dan berbuat menghina dan menistakan yang merendahkan Dia yang kita sembah, katanya. Segala ritual yang kita persembahkan bukan kepada Dia, tapi kepada sesama manusia untuk harapkan pujian dari sesama. Sesungguhnya kita bukan pelayan Allah, kita pelayan kekuasaan. Kita masih ingin dihormati pengikut kita.
Ahhh… Ternyata tidak beda dengan Firaun yang selama ini kita caci maki. Bahkan masih mending Firaun, dia seorang raja. Jadi pantas sombong. Kita? Sudah miskin, sombong pula. Apa yang dibanggakan…..
Semoga gema takbir mengingatkan diriku sebagai pelayan dia Sang Pencipta. Kewajiban pelayan adalah memelihara dengan penuh kasih dan sayang…
Semoga ucapan permintaan maaf bukan sekedar lips service, namun menjadi janji untuk selanjutnya benar-benar sebagai pelayan Allah yang juga pelayan sesama. Pelayan ciptaan Nya…