Menjadi seorang saksi tidak mudah temans. Saksi berarti kita tidak terlibat. Mungkinkah kita tidak terlibat? Selama kita mengidentifikasikan diri sebagai tubuh dan pikiran, selama itu pula kita tidak bisa menjadi saksi.
Kita terjadi suatu peristiwa kejahatan, seseorang diundang sebagai saksi atas terjadinya peristiwa kejahatan tersebut. Orang ini saat itu menyaksikan secara tidak sengaja. Jika ia menyaksikan peristiwa tersebut dengan sengaja, ia terlibat dalam peristiwa kejahatan tersebut. Namun jika tanpa sengaja, ia benar-benar sebagai saksi. Tidak ada keinginan dalam dirinya menyaksikan.
Buku Meditasi dan Yoga Terbaik
Berdiri sebagai saksi berarti tidak terlibat pikiran dan tubuhnya. Adakah bagian dari kita yang bisa menjadi saksi?
Dalam diri manusia ada 5 lapisan kesadaran. Lapisan kesadaran pertama adalah tubuh. Jika kita mengidentifikasikan diri sebagai tubuh atau badan, jelas kita tidak bisa menjadi saksi atas semua kejadian. Karena kita tubuh terlibat semua peristiwa atau kejadian dalam kehidupan sehari-hari. badan kita terlibat semua peristiwa atau kejadian di sekitar kita. Jika kejadian itu tidak melibatkan diri kita, kita tidak terkait secara langsung. Ini tidak dibutuhkan…
Saat peristiwa senang atau sedih melibatkan diri kita, tubuh dan pikiran kita terlibat. Kita telah melibatkan lapisan ke dua, energi, dan lapisan ke tiga, emosional dan pikiran atau mind. Lapisan ke empat yang ada dalam diri manusia adalah intelejensia. Saat manusia masih berada pada lapisan ini, ia bertindak selaras dengan alam semesta. Berbgai dan kasih adalah sifat lapisan ini. Keterlibatan seseorang walaupun dengan lebih mengutamakan intelejensia masih mengikutsertakan tubuh dan pikiran.
Lantas, siapakah yang disebutkan sebagai AKU bersaksi?
Dengan memperhatikan penjelasan di atasnya, Sang AKU merupakan yang tidak pernah mati. AKU abadi adanya. Benarkah demikian????
AKU Marhento…
AKU Fulan…..
AKU Polan….
AKU Sofia….
Tubuh Marhento, Fulan, dan Polan bisa mati. Tetapi AKU dalam trubuh Sofia masih ada. AKU tidak pernah mati. Bahkan meja pun jika bisa berkata, maka akan berkata: AKU meja, kursi dan lain sebagainya. AKU abadi adanya…….
Sang AKU inilah yang bersaksi. Bukan aku sebagai identitas tubuh, pikiran dan perasaan. AKU bisa bersaksi ketika kesadaran manusia tidak lagi pada lapisan tubuh, energi, pikiran/perasaan, serta intelejensia.
Saat seseorang sudah menggapai lapisan ini, barulah bisa berserah diri seutuhnya. Inilah ajaran yang luhur. Inilah yang dimaksud sebagai ajaran atau pesan mulia terakhir atau penutup.
Sayangnya, kebanyakan orang hanya bisa berkata tanpa mendalami maknanya. Akhirnya yang disebut sebagai pesan penutup hanya sekedar bunga bibir. Dan lebih parah lagi dianggap sebagai kekuasaan……
Ahhh…….. Yang Mulia…. Kau telah meninggalkan sesuatu yang berharga untuk direnungkan sepanjang hidup, tetapi siapa yang bisa memahami pesan mulia Mu?????