Inilah konsep yang kurang tepat. Bahkan mungkin salah besar. Seorang Buddha Gautama adalah seorang avatar yang tidak pernah bersedia membicarakan tentang Tuhan. Sama halnya ibarat kita hidup bersama dalam suatu rumah sejak kecil, kemudian sampai dewasa hidup dalam rumah tersebut. Semuanya tidak pernah berada di luar rumah. Suatu ketika ada seseorang mengajak mereka berdiskusi tentang bentuk luar rumah mereka. Jelas mereka akan menjawab: ‘Untuk apa membicarakan sesuatu yang belum pernah kami lihat?’ Kata Sang Buddha, ‘Yang utama adalah bagaimana kita mensyukuri berkah kehidupan ini serta kemudian melayani sesama.’ Tuhan yang ada dalam diri kita juga ada dalam diri orang lain.

Bukan kah keadaan kita demikian? Kita semua hidup dalam Tuhan. Karena tidak munglin hidup di luar Tuhan. Jika ada seorang mengatakan demikian, dapat dipastikan seseorang yang bingung. Sebab dapat dipastikan ia bidup sejajar atau berdampingan dengan Tuhan. Mungkin kah? Hanya seseorang yang hidup berdampingan dalam kesetaraan bisa mentirai satu dengan lainnya.

Buku Meditasi dan Yoga Terbaik

  • Dapatkan Buku Meditasi Terbaik Untuk Pemula [Beli Buku]
  • Dapatkan Buku Yoga Terbaik Untuk Pemula [Beli Buku]
  • Dapatkan Buku Yoga Sutra Patanjali [Beli Buku]

So, mungkinkah kita takut dengan rumah tempat tinggal kita? Kita bisa merasakan takut jika kita bisa berhadap-hadapan. Jika kita hidup dalam rumah yang bagian luar rumah tidak pernah terlihat, bagaimana mungkin kita takut dengan rupa atau wajah rumah kita? Mungkin perumpamaan ini yang paling tepat.

Atau jika kita bisa membayangkan berada dalam kandungan ibu kita. Mungkinkah kita merasa takut? Kita tidak mengganggu. Atau katakanlah kita mengganggu. Bukankah dengan mudah kita diaborsi dan dibuang tanpa kita bisa melawan. Kita sepenuhnya hidup bergantung pada ibu. Sehingga segala kehendak atau kemauan ibu tidak bisa dilawan.

Konsep takut pada Tuhan membuat diri kita kerdil. Dalam diri serta di luar diri kita eksistensi energi Yang Maha hidup ada. rasa takut membuat otak kita mengkerut. Ketakutan ini membuat kita tidak berkembang. Seseorang yang suka menonton film horor kemudian begitu menikmati rasa takutnya sedang membunuh dirinya sendiri. Tanpa sadar, ia membonsai kemampuan dirinya yang tanpa batas. Jangan menguji dengan pertanyaan, ‘Memang sejauh mana batasannya?’

Pertanyaan ini justru menunjukkan kekerdilan diri sendiri. Bukan kah yang bertanya dan yang ditanya sama? Jika seseorang mempertanyakan kemampuan orang lainnya, sesungguhnya tanpa sadar ia sedang mengkerdilkan diri sendiri. Tanpa sadar juga ia sedang mempertanyakan atau meragukan keilahian dalam dirinya. Atau sama saja ia tidak percaya kekuasaan Tuhan. Bukan kah dalam dirinya juga eksis Dia Sang Agung?

Ya, kita semua hidup dan berkembang di dalam Tuhan. Adalah konsep aneh jika kita disuruh takut pada Tuhan. Tuhan tidak jauh dari urat leher. Tidak ada keterpisahan antara keduanya. Jika ke duanya adalah satu adanya, bagaimana mungkin bisa takut? Ketakutan pada Tuhan sama saja menafikan keberadaan diri sendiri.

Yang tepat adalah takut atau malu berbuat salah karena telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan sifat mulia atau keilahian  yang melekat dalam diri sendiri. Itulah jati diri kita. Ingat rasa takut membuat otak kita mengkerut. Dengan terus menerus mengumbar rasa takut, walaupun terhadap Tuhan, sama saja sedang mengebiri Keilahian dalam diri kita sendiri.

Takut atau hindari perbuatan yang tidak selaras dengan kemuliaan diri. Diri ini mulia bila bisa melayani sesama makhluk hidup. Hidup selaras dengan sifat alam adalah kemuliaan diri kita. Rasa takut pada Tuhan berarti takut pada diri sendiri. rasa takut ini harus diubah menjadi semagat pelayanan terhadap sesama serta lingkungan.