Lunturnya Kemanusiaan 

Kelunturan rasa kemanusiaan inilah penyebab terjadinya kekacauan atau kerusuhan sekitar kita. Pudarnya jiwa mulia yang disebut kemanusiaan membuat kita menjadi bukan lagi sebagai manusia yang utuh. Utuh dalam arti bukan hanya bentuk tubuh tetapi juga perilaku. Manusia kehilangan ke-alami-annya.

Kemanusiaan bukanlah manusia. Kemanusiaan adalah sifat manusia. Jiwa kemanusiaan yang harus kita bangkitkan. Dalam penggalan lagu Indonesia Raya tertuliskan pesan luhur: ‘Bangunlah Jiwanya Bangunlah Badannya.’ Jiwa yang dimaksudkan dalam lirik lagu ini tentu Jiwa yang mengacu pada rasa kemanusiaan.

Buku Meditasi dan Yoga Terbaik

  • Dapatkan Buku Meditasi Terbaik Untuk Pemula [Beli Buku]
  • Dapatkan Buku Yoga Terbaik Untuk Pemula [Beli Buku]
  • Dapatkan Buku Yoga Sutra Patanjali [Beli Buku]

Leluhur bangsa kita sangat memahami bahwa tujuan utama dari pendidikan adalah membangunkan sifat kemanusiaan dalam diri setiap insan. Dan kesatuan suatu bangsa bisa terwujud bila rasa kemanusiaan ini bisa dikembangkan sejak dini. Kemusiaan tidak mengenal warna kulit, suku, bangsa, dan keyakinan. Rasa kemanusiaan berada di atas semua perbedaan warna kulit, suku serta keyakinan.

Sebelum kita membangun badan yang dimaknai sebagai sarana pendidikan atau infra struktur, jiwa kemanusiaan sebagai landasan pembangunan suatu bangsa dikembangkan terlebih dahulu. Bila kita mengacu pada sila ke dua dari Pancasila: ‘Kemanusiaan yang adil dan beradab’, maka akan membangunkan jiwa kemanusiaan dalam diri merupakan suatu keharusan untuk menuju kesatuan.

Sarana pendidikan hanyalah tempat untuk penyelenggaraan suatu pendidikan bisa berlangsung. Keluaran dari suatu sekolah yang bagus bangunannya dan lengkap sarana pendidikannya tidak akan menjamin menghasilkan lulusan yang memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi.

Ketuhanan Yang Maha Esa

Ketuhanan Yang Maha Esa bukan berarti percaya pada Tuhan Yang Satu atau Esa, tetapi kita harus lebih dalam mengenal maknanya. Ketuhanan memiliki arti: Sifat Tuhan. Ketuhanan berarti kata sifat bukan kata benda. Karena bila kita menekankan arti kata ketuhanan pada benda, maka tujuan Pancasila untuk menuju kesatuan bangsa akan mengalami kegagalan.

Tampaknya selama ini banyak orang mengartikan kata sifat ketuhanan sebagai kata benda sehingga Pancasila tidak bisa diterima sebagai pada semua golongan. Sifat ketuhanan adalah sifat mulia Tuhan, kasih dan sayang. Sifat Tuhan yang satu da utama adalah Kasih dan Sayang.

Sifat ini selaras atau mendukung terwujudnya pengembangan sifat kemanusiaan dalam diri setiap orang. Inilah yang seharusnya menjadi tujuan utama pendidikan. Saya ingat suatu pengalaman seorang teman di Australia dan Jepang. Di kedua negara tersebut, seorang pegawai yang jujur lebih bisa diterima menjadi pegawai daripada pegawai yang pandai atau pintar.

Seorang pegawai yang jujur bisa di’pintarkan’ atau menjadi pandai dengan belajar. Tetapi lebih sulit membangun jiwa yang barkarakter jujur. Karena sifat jujur merupakan kebiasaan atau sifat yang dibentuk oleh lingkungan dalam jangka waktu lama. Dan untuk mengubah watak atau sifat ini bukalah merupakan hal mudah.

Bila seseorang memiliki watak atau sifat jujur, maka dalat dipastikan ia memiliki rasa ketaqwaan kepada Tuhan. Ia sadar dan percaya bahwa dirinya tidak bisa menipu atau membohongi Tuhan. Ia sadar bahwa Tuhan ada dimana saja. Di barat, di timur, dan di semua tempat. Bukankah ini juga ada dalam kitab suci yang diwariskan oleh para nabi?

Apresiasi

Sudah saatnya kata toleransi ditingkatkan menjadi ‘apresiasi’. Memberikan toleransi berari berlapang dada terhadap sesuatu keyakinan atau kepercayaan lainnya. Dalam hal ini, belum ada rasa kesatuan. Rasa kesatuan bisa terjadi bila dalam diri kita bersedia mengakui bahwa: ‘Keyakinan atau kepercayaanku tidak lebih baik dari keyakinanmu.’

Agar supaya pengakuan tersebut di atas terwujud, maka dalam diri kita mesti dikembangkan pesan suci dan umum yang disampaikan oleh para suci dan nabi utusan Tuhan:

‘Perlakukan orang lain sebagaimana dirimu ingin diperlakukan’ 

Bila kita tidak mau dilecehkan atau dihina, ya janganlah melecehkan atau menghina orang lain. Kerusuhan antar keyakinan atau kepercayaan terjadi karena kita belum melakoni pesan suci ini. Kita masih pada lapisan permukaan. Kita belum melakoni atau menerapkan sifat kemanusiaan dalam diri kita.

Atau bahkan lebih parah lagi kita belum memiliki sifat kemanusiaan ini. Padahal sifat kemanusiaan identik dengan sifat ketuhanan. Sifat ketuhanan yang satu dan sama adalah: Kasih dan Sayang. Pengembangan sifat kasih dan sayang dalam diri setiap insan yang kemudian dilakoni akan membawa menuju kesatuan bangsa. Penerapan apresiasi tidak lepas dari kearifan lokal. Inilah budaya luhur nusantara.

Kelunturan budaya

Kelunturan pemaknaan serta penerapan budaya dalam kehidupan sehari-hari membuat kita menjadi terpecah belah. Mengapa? Karena kita belum memahami arti atau makna budaya itu sendiri.

Dengan memahami arti sesungguhnya dari kata ‘Budaya’, barulah kita bisa menghargai betapa tingginya warisan leluhur kita. Dan ini bukan berasal dari impor. Asli dan tulen warisan para pendahulu kita yang berbudhi luhur. Kata ‘Buddhi luhur’ pun ada kesalahan. Duplikasi kata. Buddhi sama dengan luhur atau mulia.

Mari kita mulai membedah kata ‘Buddhaya’. (Dikutip dari buku Ananda’s Neo Self-Leadership by Svami Anand Krishna, www.booksindonesia.com)

Kata buddhaya merupakan gabungan dari dua kata dalam bahasa Sanskreta, Buddhi dan Hridaya. Kata ‘Budi’ dalam bahasa kita berasal dari Buddhi, yang penghalusan Gugusan Pikiran dan Perasaan. Penghalusan sempurna: Penghalusan yang terjadi sedemikian rupa sehingga Gugusan Pikiran serta Perasaan bertransformasi total menjadi Budi atau ‘Buddhi’. Buddhi adalah kecerdasan intelejensia. Kecerdasan alam atau yang selaras dengan sifat alam.

Sedangkan kata kedua, Hridaya berarti  Jantung. Dalam koteks ini bukanlah organ jantung, tetapi jantung terdalam, tempat rasa terdalam berkembang. Dan rasa terdalam adalah Kasih.

Di sinilah keunggulan leluhur kita; kata budaya yang memberikan arti atau makan yang luar biasa. Jadi, janganlah mengartikan secara sembarangan kata ‘Budaya’ ini dan itu yang ternyata kita sendiri membuat kesalahan fatal dalam memberikan makna. Ini yang sering kita ucapkan dalam konteks hidup sehari-hari dengan mangatakan: ‘Budaya merokok, jam karet atau korupsi.’

Semua warisan luhur bangsa kita, dalam hal ini kita kenal melalui kearifan lokal. Kebetulan karena saya lahir di Yogyakarta kemudian dibesarkan di Solo, Jawa Tengah, saya kenal salah satu ungkapan bagus: ‘Urip iku Urup’

Urip iku Urup

Pepatah dari Jawa ini jika dimaknai dengan tepat bisa menjadikan dunia semakin indah. Sesungguhnya memang hal itu yang ingin diungkapkan oleh orang mencetuskan. Seseorang yang mencetuskan kalimat yang sarat makna kebaikan untuk semua manusia dapat dipastikan telah mengalami kebahagiaan sejati. Hanya seseorang yang telah merasakan kebahagiaan sejati yang bisa mengungkapkan kalimat tersebut. Mengapa?

Seseorang dapat merasakan kebahagiaan bila bisa berbagi sesuatu bisa memberikan kebahagiaan orang lain. Berbagi yang paling bernilai adalah berbagi sesuatu yang bisa membuat orang lain menyadari makna kehidupan. Urup berarti menghidupkan. Menghidupkan apa?  Tentu menghidupkan atau membangunkan jiwa yang selama ini tertidur nyenyak. Bisa saja badan bangun tetapi jiwa tertidur pulas. Bagaimana bisa?

Bila kita belum bisa membuat orang lain merasakan kedamaian berarti kita belum bisa membuat orang lain hidup berarti kita belumlah seutuhnya sebagai manusia yang berguna bagi sekitar serta sesama. Kita belum bisa menerapkan atau melakoni pesan luhur para nabi: ‘Perlakukan orang lain sebagaimana dirimu ingin diperlakukan.’ Kehadiran kita belum bisa membuat orang lainhidup tenteram.