Apa arti pemberdayaan Diri???

Sesungguhnya, pemberdayaan diri adalah kata lain bagi laku kebenaran. Tanpa kebenaran dan kejujuran, seseorang tidak akan mampu memberdayakan dirinya. Tanpa kebenaran dan kejujuran, seseorang tidak dapat mengenal dirinya; tidak mengetahui potensinya – kemudian bagaimana pula ia bisa memberdayakan diri? Memberdayakan diri dengan nilai-nilai apa?

Buku Meditasi dan Yoga Terbaik

  • Dapatkan Buku Meditasi Terbaik Untuk Pemula [Beli Buku]
  • Dapatkan Buku Yoga Terbaik Untuk Pemula [Beli Buku]
  • Dapatkan Buku Yoga Sutra Patanjali [Beli Buku]

(Yoga Sutera Patanjali by Anand Krishna, www.booksindonesia.com)

Mari kita perdalam pemahaman kalimat di atas…

Sebelum menginjak lebih dalam lagi, satu halyang perlu sepakati tentang ‘diri’. Diri yang mana. Pada diri manusia ada 5 lapisan kesadaran. Jika salah kita mendefinisikan akan makna dari ‘diri’, maka tidak akan diperleh manfaat dari Pemberdayaan Diri.

Lapisan pertama adalah lapisan tubuh kasar. Anamaikosha. Saat kita merasa bahwa yang dimaksudkan ‘diri’ adalah tubuh kasar kita, sebagaimana identifikasi pada KTP, dapat dipastikan bahwa kita tidak akan bsa memberdaykan diri menggapai potensi diri. Perlu disamakan pendapat kita bahwa potensi diri setiap insan adalah satu dan sama, yaitu keilahian. Tentu kita aemua sepakat bahwa dengan memahami bahwa potensi diri setiap insan adalah keilahian berarti segala sesuatu yang ada dalam diri manusia bertujuan untuk menggapai kemuliaan.

Kebergantungan pada benda kasar sebagai alat atau sarana menggapai kebahagiaan jelas salah sasaran. Benda kasar tidak lah abadi, sedangkan kebahagiaan bersifat abadi. Rasa bahagia tidak akan muncul atau terjadi karena terpenuhinya suatu keinginan. Rasa keinginan yang terpenuhi karena perolehan benda yang diinginkan hanya bersifat sementara, tidak abadi. Ini hanya kelegaan, bukan kebahagiaan. Mungkin banyak yang berkata, bagaimana dengan mendapatkan istri yang dicintai? Sama juga. Itu hanya bersifat sementara. Adalah kesalahan orang awam mengatakan ‘Selamat Bahagia’. Semestinya’ Selamat bersenang-senang’ sementara.

Mengapa sementara? Marilah kita perhatikan, berapa orang yang gagal perkawinan karena keinginan yang menggebu? Sering kita tidak memperhatikan hal ini di rumah tangga kita. Amati, bagaimana sikap kita saat awal tahun pernikahan. Kemudian bandingkan setelah sekian puluh tahun. Dapat dipastikan berbeda. Yang parah, bahkan sering terjadi percecokan yang diakhiri dengan perceraian. Apakah selama ini mereka bahagia? Mereka hanya senang karena terpenuhi keinginan untuk hidup bersama.

Alam benda bersifat sementara. Semakin kita terlibat dan cinta atau senang pada benda, semakin kita terbenam pada dunia ilusi. Bukan kah benda di sekitar kita ilusi? Hal ini sudah dibuktikan oleh para ilmuwan. Mereka mengakui bahwa tubuh atau benda di sekitar kita terbentuk dari atom. Saat benda mulai membusuk atau saat tubuh kita mati, maka terjadi peng-uraian menjadi atom lagi. Memang ada yang kelihatannya lama hancur, bisa saja berumur ratusan tahun, namun masih berbatas pada angka.

Tubuh kasar manusia tidak abadi. Dan ketika kita bersandarkan pada kesadaran tubuh, kita menjadi pengabdi kenyamanan indrawi. Kita jadi budak nafsu kita. Kita tidak akan kenal kepuasan. Kita akan jadi budak keinginan, dan dunia pun jadi kacau balau. Kita sudah melihat sekitar kita. Lihat saja di medsos. Bagaimana pun seseorang berjuang untuk kebaikan, masih saja yang tidak suka. Sebaik apapun tindakan kita, tetap saja ada yang tidak suka. Inilah hukum alam. Alam benda tidak kenal yang dinamakan ‘puas’.

Bersambung di lapisan ke dua…..