Puasa berasal dari kata Upavasa. Artinya selalu ingat Tuhan dan menyebutkan namanya sehingga lupa makan. Ini pertama kali dilakukan oleh Baginda Rasul di gua Hira saat bulan yang akhirnya disebut Ramadhan. Ramadhan berasal dari kata Rama dan dhan.
Rama berarti mengingat Tuhan. Rama adalah salah satu nama Tuhan di kepercayaan Hindu. Dhan dari kata dhyan yang berarti muraqabah atau bertafakur mengingat atau dzikir nama Dia Yang Maha Agung. Baginda Rasul adalah utusan penyampai kabar gembira yang membebaskan jiwa manusia dari segala belenggu keterikatan duniawi. Dunia adalah alam ilusi.
Buku Meditasi dan Yoga Terbaik
Ketika Sang Budha Sidharta Gautama di tanya tentang benda yang ada dihadapannya (saat itu yang ada kereta) beliau menjawab bahwa bagi beliau tiada sesuatu. Banyak orang terheran-heran. Jelas-jelas ada benda sebuah kereta tetapi mengapa belaiu menjawab tiada sesuatu. Ketika para pengikutnya bertanya lagi, beliau menjawab; “Coba lepaskan semua komponen yang menjadikan seperti itu”. Dan benar, saat semua dilepaskan tiada lagi bentuk kereta. Demikian juga segala sesuatu disekitar kita dilepaskan dan kemudian diuraikan. Semua kembali ke bentuk asalnya. Kosong. Lantas apa sesungguhnya yang ada disekitar kita?
Kembali ke puasa. Banyak orang tiada menyadari bahwa puasa adalah selalu mengingat Allah, sumber segala sumber. Dengan selalu mengingat nama Dia, sesuai dengan sebutan bulan Ramadhan. Bulan saat mengingat Dia dengan dhyan, meditasi atau muraqabah atau tafakur. Sayangnya makna yang suci dan agung ini telah kita nodai dengan perilaku kita sendiri.
Puasa bukan lagi mengingat nama Dia di bibir kita. Tetapi begitu pagi hari tiba, kita sudah berpikir makan dengan apa saat berbuka. Jadi tiada lagi pikiran ke Upavasha, duduk sepanjang hari mengingat namanya sehingga lupa makan. Pantas saja banyak kekacauan setelah berpuasa. Karena tidak seutuhnya memahami makna puasa. Lupa melakukan muraqabah dengan selalu menyebutkan nama Dia Yang Maha Suci.
Banyak yang yang tidak mau mengakui bahwa nabi Muhammad pun mesti belajar dari pendahulunya. Itulah kebesaran seorang nabi. Inilah bukti bahwa manusia lumrah pun sesungguhnya bisa mencapai ketinggian beliau. Bukan monopoli seorang nabi.
Ketika pikiran terisi dengan makanan, organ perutpun mulai bereaksi. Ini dibuktikan dengan suatu penelitian berikut. Ada dua ekor anjing yang selalu diberi makan setiap jam 10 pagi. Sebelum diberi makan selalu dibunyikan lonceng terlebih dulu. Baru setelah itu diberi makan. Setelah berjalan 1 bulan lebih, lonceng saat jam 10 pagi dibunyikan, tetapi makanan tidak diberi. Apa yang terjadi? Air liur ke dua anjing tersebut tetap menetes. Hal ini karena mekanisme pikiran secara otomatis bekerja. Saat lonceng berbunyi, dalam pikiran anjing tersebut sudah terbayangkan makanan yang hendak disantapnya. Kemudian pikiran ini merangsang lambungnya bekerja. Dan liur itu hasil kerja pikiran alam bawah sadar yang berhubungan dengan lambung. Oleh gerakkan ini enzym dihasilkan dalam lambung. Enzym yang berguna untuk membantu melembutkan makanan.
Ilustrasi ini bisa juga terjadi pada diri manusia. Saat pikiran sudah mulai memikirkan makanan, lambung pun mulai bekerja tanpa disadari oleh kita. Jika kondisi seperti ini yang terjadi, benar banget yang dikatakan Baginda Rasul SAW, hanya lapar dan hauslah yang diperoleh. Tanpa makna adanya peningkatan spiritual.
Inilah saat manusia terjerumus dalam ke-merugian. Inikah yang kita inginkan? Mengapa kita mau melakukan? Kenapa kita mau mengorbankan kebebasan kita melakukan puasa untuk nafsu makan duniawi yang bersifat rendahan? Masih kurang puaskah 11 bulan makan terus tiada henti. Belum adakah kejenuhan sedikitpun untuk hentikan makan sesaat demi mendorong terjadinya peningkatan kualitas jiwa.
Kita sudah melakukan kebohongan kepada diri sendiri yang berarti pula membohongi Tuhan….. Dia yang bersemayam di hati manusia….