Ketika Anda berkomitmen untuk sebuah tujuan tertentu, secara otomatis Anda mendapatkan kekuatan untuk mencapainya. 

(This is Truth That too is Truth by Anand Krishna, www.booksindonesia.com)

Buku Meditasi dan Yoga Terbaik

  • Dapatkan Buku Meditasi Terbaik Untuk Pemula [Beli Buku]
  • Dapatkan Buku Yoga Terbaik Untuk Pemula [Beli Buku]
  • Dapatkan Buku Yoga Sutra Patanjali [Beli Buku]

Sepertinya kata-kata yang membuat hati kita tersenangkan. Tetapi, sebelum kita terangkat oleh kalimat di atas, kita mesti memahami dulu jenis tujuan yang seperti apa yang akan mendapatkan dukungan secara otomatis dari kekuatan alam. Tidak disangkal lagi tentualh tujuan yang selaras dengan keinginan alam semesta.

Jika kita kemudian begitu bersemangat dengan penuh suka cita bahwa semua tujuan dipastikan mendapatkan dukungan Tuhan, kita akan terjebak atau tersesat semakin jauh dari tujuan utama kelahiran. Katakan bahwa tujuan kita untuk materi duniawi. Saya ingat selintas tentang suatu kisah menarik tentang kekuatan pikiran.

‘Suatu ketika seseorang yang mencari pohon ajaib. Konon katanya pohon ajaib tersebut dapat mengabulkan semua keinginan seseorang yang mendapatkan berkah dapat menemukan pohon ajaib tersebut. Setelah mencari ke segala penjuru, sang pencari pun lelah. Tiada harapan ia menemukannya. Ia menyerah, dan karena terlalu lelah, ia beristirahat di bawah suatu pohon. Ia tertidur dan terbangunkan. Ia kemudian berpikir: “Seandainya ada minuman segar, alangkah senangnya.” Saat itu juga ada minuman segar terhidang. Ia kaget, “Wah, jangan-jangan ia beristirahat di bawah pohon ajaib.”

Kemudian, ia berpikir: “Seandainya ada makanan enak, alangkah menyenangkan.” Dan sesaat kemudian ada makananan enak. Ia pun makan dengan lahap. Ia minta istri, dan segala macam. Semuanya dikabulkan. Tanpa sengaja, ia berpikir: “Jika pohon roboh, matilah aku.” Dan benar terjadi, ia mati tertimpa pohon.’

Berakhirlah kisah tersebut. Seakan kisah itu khayalan, tetapi seperti itulah kekuatan pikiran kita. Kekuatan pikiran yang tidak tahu tujuan mulia kehidupan.

Dalam keseharianpun kita demikian. Kita berpikir bahwa tujuan hidup adalah mencahari kebahagiaan dunia. Dengan berkah kekuatan dari tujuan, kita mendapatkan semua harta dunia, wanita, dan tahta atau kekuasaan di dunia. Tetapi apakah itu tujuan kehidupan kita? Bukankah manusia terdiri dari dua kata, ‘manas‘ dan ‘isya‘. ‘Manas‘ berarti pikiran. ‘Isya‘ bermakna Ilahi atau ketuhanan. Pikiran menciptakan kebendaan. Namun tanpa adanya ‘isya‘ atau keilahian, semuanya sia-sia. Ketuhanan atau keilahian adalah dasar semua kehidupan. Keilahian bagaikan layar. Tanpa layar, pikiran tidak bisa eksis. Semua benda terbentuk oleh pikiran. Dan sifat pikiran memuja kebendaan. Semakin besar keinginan kebendaan terwujud, semakin besar keberadaan pikiran.

Ilahi adalah jati diri manusia. Untuk kembali ke alam Ilahi, maka eksistensi pikiran haruslah lenyap. Seakan kalam ilahi terpenjara oleh pikiran. Agar pikiran mati, kita mesti melemahkan pikiran.  Pikiran terbagi dua: intelektual dan intelejensia. Intelektual adalah bagian pikiran serta perasaan atau mind yang mengurusi kebendaan. Sedangkan intelejensia adalah bagian dari mind yang berurusan dengan sifat keilahian atau keselarasan dengan alam. Ke duanya eksis di alam pikiran kita. Sangat sulit memisahkan ke duanya. Kadang satu ketika intelektual mewujud sebagai intejensia. Di lain saat terjadi sebaliknya. Kondisi seperti ini naik dan turun.

Tetapi berkah Ilahi senantiasa ada. Intelektual bisa diubah atau transformasi menjadi intelejensia seutuhnya. Atau paling tidak porsinya menguasai kekuatan intelektual. Dengan kata lain, intelejensia bisa menjadi penguasa intelektual. Banyak warisan pengetahuan para resi atau avatar menjelaskan cara-cara atau Teknik untuk melakukan transformasi ini.

Inilah tujuan yang sesungguhnya kelahiran setiap insan di bumi ini, mentransformasikan intelektual menjadi intelejensia. Tujuan seperti inilah yang akan mendapatkan dukungan dari alam semesta. Mengapa???

Karena tujuan ini selaras dengan sifat alam. Jika tujuan ini tercapai, maka lenyaplah keterikatan pada bendawi. Dengan kata lain, lenyaplah pikiran atau ‘manas’. Yang tersisa adalah ‘isya‘ atau Keilahian. Kemudian menyatulah keilahian yang ‘terjebak’ sebagai individu dalam diri tubuh menyatu dengan asalnya, Sang Maha Agung. Bagaikan setetes atau ombak laut menyatu kembali ke lautan.