‘Love for God, to Tulasi, also meant godly and cordial relation among humans, and all living beings. Love for God also meant the awareness  of one’s social responsibilities, and duty towards nation, and the world. And, Love for God remained incomplete if one did not see God here and now.’

(The Hanuman Factor by Anand Krishna, www.booksindonesia.com) 

Buku Meditasi dan Yoga Terbaik

  • Dapatkan Buku Meditasi Terbaik Untuk Pemula [Beli Buku]
  • Dapatkan Buku Yoga Terbaik Untuk Pemula [Beli Buku]
  • Dapatkan Buku Yoga Sutra Patanjali [Beli Buku]

Menarik sekali kutipan ini. Cinta pada Tuhan bukan berarti berdiri sendiri. Bukan berarti hanya mementingkan golongan, kelompok, apalagi diri sendiri. Inilah pengertian cinta. Cinta adalah Tuhan. Mengimplementasikan rasa cinta pada Tuhan berarti melakoni hidup dalam ketuhanan.

Dalam berbagai keyakinan disebutkan bahwa wajah Tuhan ada dimana-mana. Tiada suatu kehidupan terjadi di luar Tuhan. Hidup berketuhanan berarti bahwa hidup secara harmoni diantara manusia serta semua makhluk hidup. Implikasi dalam kehidupan sehari-hari bermakna bahwa hidup kita memiliki ketergantungan terhadap alam sekitar. Para bijak mengatakan bahwa perusakan terhadap alam sekitar berarti merusak ruang kehidupan kita sendiri. Iniulah hidup bertanggung jawab.

Tanggung jawab manusia bukan saja pada Tuhan. Tanggung jawab pada Tuhan berarti melakoni kehidupan yang harmoni serta bertanggung jawab terhadap makhluk sosial sekitarnya. Seorang pemimpin yang memiliki rasa empati terhadap kehidupan sosial sekitarnya. Rasa empati bukan saja terhadap kekurangan kehidupan manusia secara fisik, namun juga cara berpikir serta bertindak dari masyarakat sekitarnya.

Pemimpin yang baik memiliki sifat untuk melayani sesama. Hal ini terjadi karena kesadaran yang timbul dari dalam dirinya bahwa Tuhan maha hadir meliputi alam semesta. Dengan kata lain, melayani sesama sama dengan melayani Tuhan. Inilah pelayanan tanpa pamrih. Tanpa keinginan untuk mencari kemewahan duniawi. Ia sadar bahwa segala kemewahan dunia bisa menarik dirinya semakin menjauhi dari keilahian yang ada dalam dirinya. Inilah pola pikir berkesadaran. Sadar berarti bahwa ia bertanggung jawab terhadap segala perbuatannya. Sadar berarti bahwa ia tidak akan melakukan perbuatan yang ia sendiri tidak ingin orang lain memperlakukan dirinya demikian.

Seorang pemimpin yang memiliki tanggung jawab terhadap bangsa dan negara. Yang tentu pada akhirnya bertanggung jawab terhadap dunia. Saya ingat suatu cerita yang menarik.

Seorang anak kecil melihat ketidak adilan yang terjadi di dunia serta kesengsaraan banyak manusia. Atas dasar ini, ia memiliki cita-cita tinggi untuk memperbaiki dunia. Ketika ia dewasa, ia tidak juga bisa memperbaiki dunia. Saat menjelang usia tua, cita-citanya diturunkan. Ia hanya ingin memperbaiki negaranya. Itupun tidak berhasil dilakukan. Usia semakin tua. Cita-citanya gun diturunkan lagi, ia hanya ingin berjuang untuk memperbaiki wilayahnya. Itu pun tidak berhasil. Saat gelang kematian, ia sadar bahwa yang harus diperbaiki terlebih dahulu adalah diri sendiri. Jika setiap orang memiliki kemampuan untuk memperbaiki diri sendiri, dengan sendirinya sekitarnya akan menjadi baik.

Seorang pemimpin yang baik harus memiliki kemampuan untuk memimpin dirinya sendiri. Jika memimpin diri sendiri saja belum bisa, bagaimana mungkin ia memimpin orang lain?

Seorang pemimpin harus mampu mendengarkan lebih banyak sehingga ia bisa menyerap aspirasi dari masyarakat sekitarnya. Menyerap atau mendengar bukan berarti menerima segala saran. Ia harus memiliki kemamampuan untuk memilih secara bijak. Inilah yang disebut viveka. Kemampuan untuk memilih serta memilah secara tepat. Untuk ini, ia harus memiliki buddhi pekerti. Buddhi berarti kecerdasan intelejensia. Kearifan atau kecerdasan selaras dengan sifat alam. Pekerti berasal dari kata prakirti atau alam. Sesungguhnya lah bahwa setiap insan telah memiliki buddhi pekerti, namun sayangnya kecerdasan intelejensia ini tertutupi oleh sampah-sampah emosi.

Mungkin, kemudian timbul pertanyaan. ‘Dari mana asal sampah-sampah emosi ini?’

Sampah emosi terjadi secara tidak disadari oleh kita. Saat bergaul dengan seseorang, tanpa kita sadari sesungguhnya setiap indra kita menyerap setiap informasi. Bukan hanya telinga, semua anggota indrawi kita melakukan penyerapan secara tidak disadari. Hal ini pernah dibuktikan ketika seseorang dihipnotis. Saat itu, ia bisa menghitung sesuatu yang saat ia belum dihipnotis tidak dapat diingatnya. Ini menunjukkan bahwa saat mata melihat, ia menyimpan memori yang dilihatnya, walaupun secara sadar, ia tidak ingin mengingat atau menyimpannya.

Cleansing atau pembersihan ini bisa dan telah terbukti ke-efektifannya selama beberapa tahun. Banyak orang telah mendapatkan manfaatnya ketelah melakukan latihan-latihan ini. Dengan kata lain, ketika seseorang bisa membersihkan sampah-sampah emosi, ia memiliki kemmapuan untuk mengakses intelejensia yang secara alami inherent dalam dirinya.

Latin-latihan ini dilakukan di Anand Ashram yang didirikan oleh Bapak Anand Krishna. Beliau memberikan latihan secara rutin selama pulshan tahun. Yang beliau berikan telah dibuktikan secara empiris memberikan mannat yang sangat besar dalam membentuk pribadi yang bertanggung jawab terhadap manusia serta lingfkungannya. Saya sebagai peserta sejak tahun 2001 telah membuktikannya dalam kehidupan sehari-hari.

Kembali tentang kepemimpinan mandiri atau Self leadership. Jika dikaitkan dengan kutipan dari buku The Hanuman Factor di atas, akan amat sangat relevan. Dengan kata lain, seseorang yang memiliki sifat kepemimpinan mandiri berarti mencintai Tuhan dalam bentuk nyata. Ia memiliki jiwa seorang pelayan. Jiwa seorang pengabdi. Tentu mengabdikan dirinya sebagai insan Tuhan. Ia bisa melihat bahwa melayani sesama makhluk hidp juga berarti melayani Tuhan. Sulit? Memang sulit, tetapi bukan berarti tidak bisa digapai. Memang butuh upaya keras. Menuju hidup keilahian. Inilah tujuan utama dari kelahiran manusia ke bumi.