Jika benar bahwa santet atau teluh ada dan bisa digunakan untuk semua orang, pastilah zaman dahulu para kapitan atau mayor jenderal Belanda sudah bisa dibunuh dengan santet. Tetapi, kenapa kita harus berperang secara fisik untuk merebut kemerdekaan, tidak di santet saja agar mati?
Sedangkan, jika kita berpaling pada sesama pribumi, banyak yang kena santet atau teluh dengan mudah. Ada saja kasus yang berkaitan dengan black magic. Apa penyebabnya?
Buku Meditasi dan Yoga Terbaik
Semua berkaitan dengan memori atau sesuatu keyakinan yang sudah ada dalam pikiran kita. Tidak bisa sesuatu mempengaruhi fisik kita tanpa melalui pikiran. Analogi yang sama, kita tidak bisa membayangkan sesuatu yang belum pernah kita lihat. Yang kita lihat, walaupun belum pernah di saat kehidupan saat ini dan kita lihat dalam bayangan kita berarti ada dalam memori kita.
Boleh saja seorang warga Indonesia tampaknya menolak dengan kata. “Aku ga percaya dengan santet atau teluh.’ Mungkinkah bisa???
Sangat sulit temans….
Mengapa???
Karena, boleh saja saat ini mengatakan tidak percaya. Tetapi, ingatkah kita bahwa pada kehidupan sebelum saat ini, kita tidak memiliki memori tentang santet atau teluh? Tiada seorang pun ingat bahwa dalam kehidupan terdahulu, bahwa kita tidak percaya. Semua tergantung memori masa lalu. Dan yang parah, memori tersebut tetap eksis dan memiliki efek terhadap kehidupan saat ini. Semua memori tersimpan dalam DNA kita.
Sedangkan, mereka yang sejak kecil hidup di Eropa, tidak satupun di sekitarnya membicarakan sesuatu yang di luar akal pikirannya. Mereka senantiasa berpikir secara riil atau logis, tidak atau bahkan jarang yang membicarakan hal yang ghaib, terutama tentang santet. Pola pikir mereka selalu dikaitkan dengan ilmiah dan matematis. Kita atau bangsa timur, selalu memikirkan yang ghaib. Lihat saja, kita belajar spiritual atau pengertian spiritual secara umum mesti dikaitka dengan kekuatan atau kesaktian.
Adanya kesamaan frekuensi inilah penyebab orang pribumi seperti kita, mudah terkena santet atau teluh, black magic. Sesungguhnya, kita tidak bisa dilukai jika kita tidak menyediakan diri untuk disakiti atau dilukai. Hal yang amat mudah saja, sebagai contoh. Suatu ketika, kita dimaki dengan kata kasar, kita marah dan menantangnya berkelahi. Pernahkah kita berupaya menafikkan?
Bukankah masalah yang terjadi di sekitar kita saat ini kebanyakan karena kata. Kita dikatakan oleh si Fulan: ‘Kau katanya di Hola begini.’ Kemudian kita marah, inilah yang saya maksudkan pengaruh kata.
Jika saat itu kita menafikkan, ahhh… biarkan saja, toh saya ga rugi dikatai begini dan begitu. Selesai lah masalahnya tanpa ada ribut. Kita sendiri yang bisa menghentikan, apakah sesuatu masalah berhenti atau berkembang. Saat kita menanggapinya, saat itu kita memberi ijin pada orang lain untuk menyakiti kita. Sebaliknya, jika saat itu, kita mengatakan: ‘Biarkan saja, apa yang dikatakan tidak benar. Untuk pa saya menanggapinya.’ Selesai suatu masalah…
Disini lah kita butuh mengembangkan viveka. Kemampuan untuk memilah, apakah tindakan yang akan kita lakukan memuliakan jiwa atau kesadaran kita, ataukah tindakan yang akan kita lakukan membuat kita semakin nterjebak di dunia ego atau keangkuhan yang jelas-jelas menarik kesadaran kita pada suatu tingkat yang lebh rendah.
Kehadiran kita di bumi saat ini semata untuk mengembangkan buddhi, kecerdasan intelejensia. Bukan sebaliknya, pengembangan intelektual atau kepintaran dunia. Suatu kepintaran yang semata berhitung untung dan rugi secara materi. Inilah bentuk keterikatan atau kemelekatan dunia.
Kita selalu saja senang mengidentitaskan diri kita dengan sesuatu yang tidak abadi. Kita lupa bahwa kebahagiaan bukan bergantung pada sesuatu yang tidak abadi. Kebahagiaan sejati ada dalam diri setiap insan. Yang dibutuhkan hanya menyadarinya. Tidak ada yang perlu dicari, karena memang sesungguhnya kebahagiaan ada secara alaminya dalam diri kita.