Saat membaca berita kompas hari Rabo tanggal 6 April 2011 tentang kartu jaminan kesehatan daerah yang diperjual belikan di Depok, sungguh miris hati ini. Betapa sudah terdegradasinya moral sudah melanda negeri ini. Kasus Melinda Dee yang melakukan manipulasi di bank terkenal bertaraf internasional. Kasus Gayus yang juga memanipulasi pajak untuk keuntungan sendiri. Selain itu yang tidak kalah memprihatinkan tentang seorang yang berani melibas korupsi, Antasari juga dijebloskan dipenjara seakan tiada didengar saksi yang meringankan. Banyak lagi kasus yang jika diperhatikan secara nalar sehat, tidak masuk akal.
Buku Meditasi dan Yoga Terbaik
Negeri yang menurut hasil penelitian menunjukkan negeri ini adalah nomor 2 terkaya di dunia setelah Brasil menjadi negara miskin. Sumberdaya alam melimpah seakan tidak bisa mengangkat negara menjadi kaya. Jika melihat sedikit contoh kasus-kasus di atas membuktikan bahwa bukan karena tidak memiliki kekayaan sumberdaya alam untuk memakmurkan rakyatnya, tapi karena krisis moralitas.
Kejayaan negeri ini pernah dialami oleh nenek moyang kita. Zaman Sriwijaya yang dinastiya menguasai selama berabad-abad. Kurang lebih 7-8 abad. Majapahit berkuasa dan berhasil memakmurkan rakyatnya selama 300-400 tahun. Pemerintahnya aman tenteram, tiada kemiskinan di daerah kekuasannya. Pemerintahnya dikuasai oleh orang-orang yang menganut berbagai kepercayaan. Tiada pernah terjadi konflik antar golongan kepercayaan. Para pejabatnya memiliki visi dan misi yang sama. Memakmurkan negerinya, tiada memandang suku dan kepercayaan.
Krisis moral yang melanda negeri ini terjadi karena berbagai kepentingan golongan. Ada yang menganggap agama yang dianutnya paling baik. Dan dengan dada tengadah bisa menganggap kepercayaan orang lain lebih rendah. Golongan ini mengklaim seakan pemilik surga. Dan mereka dengan santai mendikte Tuhan. Jika saya sudah melakukan ini dan itu, pasti masuk surga. Selain itu dengan atribut agama berkuasa dan mencari duit dan kekuasan. Mereka ingin menyeragamkan sesuai dengan kepercayaan yang mereka anut. Betapa mereka lupa bahwa sesungguhnya keberagaman atau kebhinekaan merupakan keniscayaan. Lihat saja warna warni pelangi. Ia tidak menjadi indah lagi tatkala hanya dua warna, hitam dan putih. Pohon beraneka ragam di taman kita atau di gunung menjadi keindahan tak terkatakan. Adalah hukum alam keberagaman menciptakan keindahan.
Mereka yang ingin menyeragamkan jelas-jelas melawan hukum alam. Jika sudah demikian, apakah mereka bisa dikatakan menyembah Tuhan sebagai pencipta keberagaman?
Tuhan tidak bakal bisa ditemui setelah badan ini tiada. Mensyukuri anugerah Tuhan hanya bisa dirasakan badan. Jika badan terasa sehat dan nyaman, barulah dari mulut kita terucapkan kata syukur atas anugerah Nya. jika hati kita terbutakan saat di bumi ni, jangan harapkan hati ini bisa menjadi singgasana Allah. Hanya hati manusia yang mampu ditempati oleh sesuatu yang tidak terbatas. Semestapun tidak mampu mengakomodir Tuhan. Hanya sesuatu yang tidak terukur bisa disinggasanai yang tidak terukur juga.
Wajah Allah di barat dan timur dan disegala penjuru. Jika mampu melihatnya, itulah tauhid. Tiada Tuhan selain Allah. Jika sebaliknya, ia adalah budak nafsu keinginannya sendiri.
Dulu pencetus dan penggali Pancasila, bung Karno mengurutkan sila-sila dalam pancasila sudah tepat. Beliau menempatkan sila kemanusiaan pada urutan pertama. Kemudian hal ini ditentang oleh kelompok agama yang menempatkan urutan ketuhanan di nomor satu.
Bagi bung Karno berpendapat bahwa jika seseorang bisa melakoni sila kemanusiaan, sudah pasti orang tersebut berketuhanan. Sila kemanusiaan berkaitan dengan manusia dalam kehidupan sehari-hari. Kemanusiaan bukan sekedar ucapan, tapi harus dilakoni. Bagaikan hubungan kita dengan orang tua. Jika kita mengatakan hormat dan sayang pada mereka, mesti dibuktikan dengan tindakan. Demikian juga, jika ingin membuktikan sila kemanusiaan dijalani ya hormati dan sayangilah sesama manusia. Manusia adalah ciptaan Tuhan juga seperti kita. Menghormati dan menyayangi manusia sama dengan kita menyembah Tuhan.
Sebaliknya, jika sila ketuhanan ditempatkan pada urutan pertama sebagaimana diinginkan para agamis saat itu, seperti saat inilah situasi yang terjadi. Kolom agam pada KTP sebagai bukti bahwa kita beragama. Tampaknya hanya cukup sebagai simbol atau status tentang ke-agamaannya . Bukan ke-ber-agamaannya. Cukup tertera agama di kolom KTP. Titik… Jadi perkara perilakunya tidak mengaplikasikansila kemanusiaan, tidak menjadi masalah. Cukup status simbol saja. Dan adanya kolom KTP menjadi tanda bahwa ia kelompoknya atau sealirannya. Dan atribut ini menjadi tanda keanggotaan secara tidak resmi.
Apakah ini yang mengakibatkan degradasi moral????