Kita terus-terusan menyangkal; bahkan menyangkal kenytaan bahwa selama bertahun-tahun ini, atau tepatnya selama bermasa-masa kehidupan, kita telah menyangkal bahwa kita terus-terusan menyangkal. Ini menjauhkan kita dari kebenaran.
Kebenaran bukan hanya bintang paling terang, tetapi juga sumber energi dalam konstelasi diri kita. Ketika kita menyangkal kebenaran, kita menyangkal keberadaan kita sendiri.
Buku Meditasi dan Yoga Terbaik
(This is Truth That too is Truth by Svami Anand Krishna, www.booksindonesia.com)
Sumber penderitaan kita adalah penyangkalan akan kebenaran sejati. Kita menyangkal bahwa Tuhan berada lebih dekat dari urat leher kita. Dengan kata lain, kita senantiasa terus menerus melakukan penyangkalan bahwa tidak ada keterpisahan antara Tuhan dan diri kita. Kita selalu saja menganggap bahwa Tuhan berada di luar diri, sehingga kita selalu manganggap bahwa semua penderitaan yang kita alami karena Tuhan menguji kita.
Ketika hal ini selalu tertanam dalam diri kita, kita selalu saja menganggap diri adalah lemah. Bukan lemah secara fisik, ini tidaklah parah. Tetapi kelemahan secara mental jauh lebih parah. Ketika pikiran kita menganggap bahwa bencana karena ujian dari Tuhan, kita tidak akan pernah sadar bahwa bencana terjadi karena kelalaian kita sendiri.
Tanah longsor, banjir, dan lainnya disebabkan ulah kita yang tidak bisa hidup selaras dengan alam. Kita membuang sampah sembarangan sehingga saluran tersumbat. Kita menutup halaman kita dengan beton dan lantai keramik sehingga tampak indah. Tetapi hal ini menjadikan air tidak meresap ke dalam sumur kita. Nanti ketika musim kering, ketiadaan air dalam sumur menpis, kita mengeluh. Ini ujian dari Tuhan.
Bencana longsor terjadi. Kita menyalahkan orang lain, bahkan secara ekstrim mengatakan Tuhan sedang menguji umatnya. Kita lupa bahwa pemotongan pohon di hulu sungai menjadikan rawan tanah longsor. Penggundulan hutan menjadikan bencana rawan longsor sangat tinggi. Kemacetan lalu lintas akibat ulah kita, kita mengeluh. Kita menuntut orang lain bisa menguraikan atau mengurangi kemacetan. Keserakahan kita akan kenyamanan diri sebagi penyebabnya tidak pernah kita sadari. Hanya caci maki dan umpatan karena penguasa tidak bisa mngatasi kemacetan lalu lintas. Alangkah munafik diri kita. Selalu mencari kesalahan pada diri orang lain.
Penyangkalan bahwa kita harus bertanggung jawab terhadap perbuatan kita membuat kita terus menerus menderita. Ketika kita sadar bahwa dalam diri orang lain juga ada Tuhan sebagaimana dalam diri kita, kita bisa mengapresiasi orang lain. Bukanlah jelas pesan para suci: ‘Perlakukan orang lain sebagaimana dirimu ingin diperlakukan.’
Umpatan dan cacian akan keburukan orang lain hanya semakin membuktikan bahwa dalam diri kita penuh dengan sampah kekotoran. Kita akan terus-terusan menderita karena kita tidak bisa membersihkan sampah dalam diri sendiri. Saat sampah dalam diri bisa kita bersihkan sendiri, kita akan menggapai kebahagiaan. Setiap insan memiliki kemampuan untuk mengakses ke dalam diri. Bukan suatu hak istimewa per-orangan.
Adalah kebodohan kita sendiri kita diajak membersihkan sampah agar kita bisa memiliki kesadaran para suci atau avatar. Kita selalu menutupi kemalasan dengan cara mengatakan: ‘Dia kan seorang suci. Seorang nabi atau seorang rasul utusan Tuhan, saya kan manusia biasa.’ Inilah penyangkalan yang selalu kita ucapkan berkali-kali.
Kita amat sangat lupa bahwa setiap manusia memiliki pikiran yang ber-evolusi. Kebaradaan kita di dunia untuk belajar bahwa segala sesuatu terus-terusan megalami perubahan. Batang otak kita yang disebut sebagi limbik adalah sama dengan batang otak mamalia. Keberadaan bagian otak yang disebut sebagi neo-cortex menjadikan diri kita memungkinkan menggapai kesadaran yang dicapai para suci atau avatar. Kita harus menggunakan bagian ini semaksimal mungkin. Bukan untuk menjadi superman atau orang hebat, tetapi untuk menggapai kemanusiaan dalam diri kita. Gunakan neo-cortex untuk menuju kesadaran bahwa kita semua, tidak ada pengecualian, adalah satu organisme yang hidup. Kita satu kesatuan tidak terpisahkan. Hanya dengan tidak lagi melakukan penyangkalan ini, kita bisa mengakhiri penderitaan.