Asumsi berketuhanan
Yup….. Inilah keadaan kita. Suka memiliki asumsi berketuhanan…
Asusmsi berarti perkiraan. Bukan suatu kepastian…
Buku Meditasi dan Yoga Terbaik
Berketuhanan berarti memiliki sifat Tuhan…
Ketuhanan adalah sifat. Jika disebutakan Ketuhanan Yang Maha Esa berarti memiliki sifat dari Tuhan Yang Maha Esa. Sifat Tunggal Tuhan adalah Kasih. Seseorang yang menyatakan diri berketuhanan berarti ia melakoni sifat Tuhan, Kasih. Sayangnya, banyak yang belum memahami perbedaan antara Tuhan dan berketuhanan sehingga dasar negara negera kita pun masih belum dipahami oleh mereka yang tidak bisa membedakan antara Tuhan dan berketuhanan.
Beratnya lagi, mereka yang tidak bisa membedakan ke dua kata tersebut memiliki asumsi berketuhanan. ‘Merasa’ sudah bertuhan. Mengaku bertuhan atau mengaku memiliki Tuhan tetapi belum memahami sifat dan benda. Setiap benda memiliki sifat. Demikian pula Tuhan juga memiliki sifat. Penyembahan pada Tuhan berarti menyembah benda bukan melakoni sifat yang dimiliki oleh si benda.
Saat kita melakukan ibadah yang menurut asumsi atau perkiraan kita menyembah belum bisa dikatakan melakukan persembahan selama tidak terjadi ‘dialog batin’.
Saat kita melakukan ibadah sebagai suatu kewajiban berarti kita masih menggunakan otak kiri atau kekuatan intelektual. Intelektual berarti mengukur ibadah kita dengan benda. Melakukan perkalian bahwa ibadah kita memiliki jumlah adalah hasil kerja intelektual. Ini bermakna bahwa kita masih belum beranjak dari pola kerja otak warisan mamalia atau reptilia. Pola kerja ini ada pada limbik.
Sedangkan kita sebagai manusia dibekali neocortex. bagian otak yang tidak terdapat pada hewan mamalia atau reptilia. Neocortex memiliki fungsi untuk mengembangkan sifat ketuhanan atau kemanusiaan Inilah sifat kasih. Memiliki sifat kemanusiaan berarti memiliki empati terhadap sesama manusia. Lebih luas lagi memiliki empati terhadap sesama makhluk hidup. Inilah pola kerja intelejensia…
Dialog Batin
Kembali pada ‘dialog batin’. Terjadinya ‘dialog batin’ sangat amat sulit dideteksi oleh sesama manusia. Namun bukti bahwa seseorang telah bisa melakukan ‘dialog batin’ bisa dilihat dari perilaku yang semakin mengasihi terhadap sesama makhluk hidup. Besarnya empati terhadap sesama manusia merupakan output dari terjadinya ‘dialog batin’.
Bagi kita yang walalupun banyak melakukan ibadah sembahyang, dalam jumlah, namun tidak menggambarkan memiliki sifat Tuhan atau berketuhanan berarti belum berhasil melakukan ‘dialog batin’ dengan Dia yang bersemayam dalam diri setiap manusia atau makhluk.
Dan tandanya juga tampak pada sifat pamer. Sifat pamer juga membuktikan bahwa kita masih melakukan penyembahan pada benda sekeliling kita termasuk manusia. Hanya tampilan luar yang kita besar-besarkan bermakna kita masih jadi penyembah benda.
Tidak terjadinya ‘dialog batin’ juga berarti belum mengembangkan neocortex. Sangat disayangkan bila dalam kehidupan saat ini tidak terjadi pengembangan neocortex. Dengan kata lain, kita masih belum beranjak dari otak warisan mamalia/reptilia atau limbik.
Tidak ada sesuatupun yang bisa mengubah diri kita kecuali kita sendiri…..