Anda sebenarnya tidak pernah tumbuh dan sekarang Anda menghalangi pertumbuhan anak-anak Anda. Anda ingin mereka menjadi fotokopi Anda. Anda berperan sebagai pengawas di rumah tahanan dan anak-anak Anda menjadi narapidana yang sedang menjalani hukuman. (Kehidupan halaman 34, Anand Krishna)

Ketika pada tanggal 11 Agustus 2015 tentang baca, tulis, dan hitung (Calistung) dan efeknya. Dalam artikel tersebut disebutkan:

Buku Meditasi dan Yoga Terbaik

  • Dapatkan Buku Meditasi Terbaik Untuk Pemula [Beli Buku]
  • Dapatkan Buku Yoga Terbaik Untuk Pemula [Beli Buku]
  • Dapatkan Buku Yoga Sutra Patanjali [Beli Buku]

‘Dia menuturkan, pemberian pelajaran calistung juga dapat menghambat pertumbuhan kecerdasan mental. Sebab, anak bersangkutan bisa menjadi pemberontak. Meski demikian, orang tua sering melakukan kesalahan dengan membanggakan anaknya yang lulus Taman Kanak-kanak dan juga sudah pandai calistung.’ (Sumbernya ini)

Seperti itulah keadaan kita orang tua saat ini. Kita tidak pernah tumbuh dewasa. Tumbuh dewasa berarti memahami potensi diri yang ada pada setiap anak, tumbuh kembang sebagaimana potensi alaminya. Kita belum sadar bahwa anak bukanlah robot yang bisa dipaksa untuk mengikuti kemauan kita. Banyak dari kita lupa bahwa yang dibutuhkan dalam kehidupan ini bukanlah hanya intelektual; baca, tulis, dan hitung. Ketiga keahlian atau kebisaan ini hanya menghantar anak menjadi pintar tetapi tidak cerdas. Cerdas berarti secara intelegensia.

Pintar berkaitan dengan intelektual. Artinya anak senantiasa menggunakan kepintarannya untuk membodohi orang lain demi kepentingan diri. Pertanyaannya, mengapa hal ini bisa terjadi?

Karena si anak yang sedang tumbuh dalam usia sampai 5 tahun sesungguhnya belum waktunya ditanamkan sesuatu yang berkaitan dengan intelektual. Biarkan si anak tumbuh kembang intelegensia atau kecerdasan ilahi/alami. Kita seharusnya ingat bahwa kelahiran si anak di bumi untuk belajar sesuatu yang amat dibutuhkan untuk melanjutkan evolusi kesadaran akan jati dirinya. Bukan untuk memburu kenikmatan bendawi.

Namun, dalam kebodohan kita, kita memaksakan menanamkan pengetahuan yang bersifat intelektual dalam diri si anak. Alhasil, anak akan tumbuh timpang. Mereka akan mengalami gangguan mental. Apakah kita lupa pesan pengarang lagu Indonesia Raya, WR Supratman?

Bangunlah jiwanya bangunlah raganya…..

Jiwa berarti berkaitan dengan intelegensia, sifat alam. Biarlah anak menjalani hidup secara alamiah. Bermain adalah alami. Bukankah hidup ini adalah permainan? Keseriusan kita yang membuat kita yang sudah dewasa menderita. Keinginan ini dan itu yang tidak terpenuhi membuat kita menderita. Keinginan kita agar anak pintar dan bisa bersaing berarti bahwa kita menjadikan mereka robot. Bukan jiwa atau kesadaran ilahi yang berkembang, tetapi kemauan orang tua yang sedang sakit ditanamkan pada anak.

Secara tidak sadar sesungguhnya kita menanamkan racun kematian pada si anak. Mungkin banyak yang membantah, tetapi jika kita lihat realitanya? Begitu banyak anak pintar membelanjakan uangnya. Bukankah yang sering kita lihat di media layar kaca, banyak pedagang yang demi meraup uang banyak mengorbankan kepentingan kesehatan konsumennya. Dan bila diperhatikan dari usia, mereka bisa dikategorikan golongan kaum muda. Mereka menggunakan bahan berbahaya untuk membuat makanan menarik dan awet.

Bahkan, ada pedagang yang masih usianya muda memanfaatkan roti yang kadaluwarsa untuk diolah lagi dan dijual pada anak sekolah. Bukankah ini kepintaran yang menggunakan landasan untung-rugi dari pola pikir intelektual? Kecuali atas keinginan si anak sendiri. Setiap anak unik adanya.

Ketika jiwanya belum tumbuh kembang sempurna, kemudian oleh keinginan orang tuanya yang senang pujian dalam perlombaan menjejali si anak baca, tulis dan hitung. Dengan bangga si orang tua yang belum sadar akan keutamaan pembangunan karakter jiwa, dalam setiap pertemuan pamer berkata: ‘Anak sudah bisa baca, tulis, dan hitung dengan lancar.’

Jika kebisaan itu atas dasar keinginan si anak, sangat pantas didukung. Dalam hal ini tekanannya adalah, jangan memaksakan kehendak orang tua demi dapatkan pujian sehingga mengorbankan kepentingan pertumbuhan jiwa anak. Bijaklah dalam mendidik anak. Jangan anggap anak sebagai narapidana yang sedang menjalani hukuman sehingga harus patuh keinginan orang tua. Orang tua bukanlah sipir penjaga anak. Anak memiliki jiwa sendiri. Anak memiliki pola hidup tumbuh kembang sesuai keinginannya untuk lahir….

Ingatlah pesan Ki Hajar Dewantara:

Tut Wuri Andayani…